GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA

KEMBALI KE MARHAENISME?

Oleh: M. Utche Pradana (Komisariat Fakultas Biologi UGM)

Sebelum adanya pemaksaan kepada organisasi massa / ormas untuk memakai hanya asas Pancasila, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia memiliki asas Marhaenisme, asas yang telah ada sejak GMNI lahir sebagai organisasi gerakan mahasiswa. Malah jauh sebelum menjadi underbouw dari Partai Nasional Indonesia. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia adalah hasil fusi dari tiga organisasi yaitu, Gerakan Mahasiswa Marhaenis, Gerakan Mahasiswa Nasional dan Gerakan Mahasiswa Demokrat yang pada tanggal 23 Maret 1954 mengabungkan diri menjadi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.

Tahun 1983, MPR yang baru terbentuk dari hasil pemilu yang tidak kita tahu benar jujur atau tidak, pemerintah dengan pragmatis telah "memaksakan" Pancasila sebagai asas tunggal bagi organisasi apapun, termasuk ormas dan orpol. Langkah pragmatis ini oleh rezim orde baru dianggap sebagai langkah untuk menipiskan watak ideologis dari partai-partai politik dan organisasi massa.

Pancasila yang telah menjadi konsensus nasional saat itu harus dijadikan sebagai prinsip yang ekslusif dan lengkap. Penjabaran lebih lanjut dari ideologi monolitik ini sekalipun kabur dalam ungkapan-ungkapan atau simbol-simbol kemudian dipaksakan melalui pembenaran-pembenaran yang sekaligus menghilangkan esensi dari Pancasila itu sendiri. Pembenaran-pembenaran itu berupa beberapa rangkaian penataran P-4, kuliah-kuliah Pancasila dan represivitas terhadap perkembangan kelompok-kelompok ideologis.

Penolakan maupun penerimaan terhadap paksaan asas tunggal ini, ternyata tidak langsung berkaitan dengan pragmatisme rezim itu sendiri, akan tetapi lebih pada taraf legitimasi pemerintah terhadap keberadaan sebuah organisasi. Ada anggapan pada massa rakyat bahwa gagasan asas tunggal itu hanyalah tes politik terhadap kesetiaan kepada rezim, dan represivitas yang terjadi kemudian menjadikan gagasan asas tunggal itu bukan lagi sebuah tes politik, akan tetapi lebih pada intervensi rezim kepada rakyat yang sama sekali bertentangan dengan UUD 45.

GMNI dengan trauma sejarahnya, berupa kekalahan besar kelompok nasionalis pasca kudeta 1965, yang mengakibatkan secara organisasional, terjadi gelombang eksodus para oportunis dan petualang politik, mau tidak mau harus menerima asas tunggal tersebut. Apalagi jika kita melihat peta sejarah rezim orde baru, sangat banyak bentuk intervensi dan ‘devide et impera’ dalam setiap organisasi. Saat ini saat keran perubahan dan kebebasan berkelompok dan berorganisasi dibuka, serta dengan paradigma demokrasi yang menjamin keterbukaan dan perbedaan, kemungkinan bagi GmnI untuk kembali ke asas lama yaitu Marhaenisme sangat besar. Walaupun bagi GmnI saat ini Marhaenisme sebenar secara esensial adalah Pancasila juga, tergantung dari sudut pandang manapun.

Banyak hal yang harus disiapkan GmnI jika ingin kembali ke Marhaenisme, pertama; Apakah saat ini marhaenisme masih relevan sebagai sebuah ideologi ? Kedua; Perlukah revisi-revisi dan penyesuaikan Marhaenisme sebagai ideologi agar sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa saat ini? Kemudian jika memang harus ada revisi-revisi, format dan konsep seperti apa Marhaenisme ‘baru’ itu? Ketiga; Apakah Marhaenisme bisa direvisi? Oleh siapa dan apa parameter revisi itu bisa dianggap sah dan legitimate? Karena tidak menutup kemungkinan dengan kondisi yang diciptakan rezim Orba selama 30 tahun telah menciptakan manusia fanatik yang dogmatis dan hanya terikat pada simbol-simbol dan semboyan-semboyan yang mau tidak mau malah menghambat perkembangan peradaban manusia itu sendiri.

Tiga pertanyaan di atas harus dijawab oleh GmnI sendiri, karena yang akan melaksanakannya nanti adalah GmnI sendiri, jika kembali ke Marhaenisme itu terwujud. Harus banyak terjadi dialektika untuk mencapai sebuah sintesa yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Mungkin tulisan ini dapat menjadi picu dari perdebatan mengenai perlu tidaknya GmnI kembali ke Marhenisme.

Sama pentingnya dengan memperdebatkan independensi dari GmnI sendiri sebagai organisasi sosial yang sudah semestinya jauh dari segala macam bentuk intervensi dari pihak luar. Karena sebagai sebuah organisasi massa yang notabene dipenuhi oleh orang muda sebagai bagaian dari kader bangsa, tentunya GmnI harus dapat bertahan dan survive ditengah percaturan dunia yang semakin rumit dan njelimet.

Tapi satu yang harus diingat dalam pelajaran berdemokrasi dan berpolitik, bahwasanya mendengar adalah pelajaran pertama, dan tiada kawan yang abadi dalam demokrasi dan politik duniawi.

***